Menegakkan Hukum dan Menggunakan Hukum ???
Antara menegakkan hukum (enforce the law) dan menggunakan hukum (to use the law) memang merupakan dua hal yang berbeda yang seringkali lolos dari perhatian masyarakat, termasuk perhatian para akademisi. Kebanyakan orang memandang kedua hal ini sama, karena sulit membedakan bentuk keluarannya. Dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat kehendak agar hukum tegak, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Sedangkan dalam menggunakan hukum, cita-cita yang terkandung dalam hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak di raih, sebab hukum tersebut digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan (to use the law to legitimate their actions).
Dalam praktik, penggunaan hukum melibatkan keahlian profesional dalam bidang hukum. Setelah keahlian ini berkolaborasi dengan keahlian lain dan kekuasaan, maka hukum dapat dijadikan pembenar untuk tindak kekerasan,diskriminasi, dan bahkan untuk meraih keuntungan yang sebenarnya tidak sah (korupsi).
Praktik menggunakan hukum untuk mengukuhkan kepentingan, terkait dengan budaya penguasa yang memerintah. Semakin halus budaya yang dianut penguasa, tetapi semakin totaliter, hukum biasanya diagung-agungkan. Namun tidak untuk ditegakkan, melainkan hanya digunakan, sehingga berkembang berbagai bentuk diskriminasi. Bagi rezim totaliter,hukum juga dapat digunakan sebagai alas untuk melakukan berbagai tindak kekerasan, termasuk pelanggaran HAM berat. Karena menganggap pelanggaran tersebut mempunyai dasar hukum, maka perasaan bersalah para pelaku atas kejahatan yang dilakukan itu sangat minim, bahkan dalam beberapa kasus perasaan GUILTY itu nyaris tidak ada, lihat kasus-kasus yang marak terjadi dan ditayangkan di televisi seperti kasus salah tangkap dan salah tembak Polisi, kasus kesalahan atas penghukuman Prita Laura, kasus penghapusan salah satu tuntutan terhadap Gayus Tambunan yang dilakukan oleh Jaksa. Kasus proyek-proyek fisik yang seharusnya menjadi lex spesialis dijadikan lex generalis oleh aparat hukum. Tentunya dengan mendalilkan membela diri,tentu agar dianggap masih tetap berjalan di atas hukum. Namun tanpa sadar justru mereka telah sengaja menggunakan hukum untuk tujuan kejahatan (law as tool of crime).
Ketika orang hanya memandang pengadilan sebagai’mahluk yuridis’ belaka, maka demikian pula pandangan terhadap para aktor yang ‘bermain’ dilingkungan pengadilan, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Guru Besar dari Unhas Prof.Dr.Achmad Ali,S.H.,M.H., mengatakan bahwa:.. “dikalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata pengadilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru berbeda sama sekali...”.
Memang, acapkali logika yang berada dibalik menggunakan hukum itu menyesatkan. Antara perilaku menegakkan hukum dengan menggunakan hukum sulit dibedakan. Kebetulan keduanya memang saling melengkapi. Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum, dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang (abus de droit). Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum, dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan sepeerti tanpa hukum (lawless). Polisi,jaksa,hakim,advokad,birokrat,politisi, dan siapa saja yang berkecimpung dalam dunia penegakan hukum akan merasakan himpitan paradoks tersebut. Mereka senantiasa ditantang untuk menyeimbangkan dua kutub, antara penegakkan hukum dan menggunakan hukum. Nah Pertanyaannya adalah, apakah dalam ketidak seimbangan antara penggunaan hukum dengan penegakkan hukum, sang timbangan bisa seimbang ???. ***
Dalam praktik, penggunaan hukum melibatkan keahlian profesional dalam bidang hukum. Setelah keahlian ini berkolaborasi dengan keahlian lain dan kekuasaan, maka hukum dapat dijadikan pembenar untuk tindak kekerasan,diskriminasi, dan bahkan untuk meraih keuntungan yang sebenarnya tidak sah (korupsi).
Praktik menggunakan hukum untuk mengukuhkan kepentingan, terkait dengan budaya penguasa yang memerintah. Semakin halus budaya yang dianut penguasa, tetapi semakin totaliter, hukum biasanya diagung-agungkan. Namun tidak untuk ditegakkan, melainkan hanya digunakan, sehingga berkembang berbagai bentuk diskriminasi. Bagi rezim totaliter,hukum juga dapat digunakan sebagai alas untuk melakukan berbagai tindak kekerasan, termasuk pelanggaran HAM berat. Karena menganggap pelanggaran tersebut mempunyai dasar hukum, maka perasaan bersalah para pelaku atas kejahatan yang dilakukan itu sangat minim, bahkan dalam beberapa kasus perasaan GUILTY itu nyaris tidak ada, lihat kasus-kasus yang marak terjadi dan ditayangkan di televisi seperti kasus salah tangkap dan salah tembak Polisi, kasus kesalahan atas penghukuman Prita Laura, kasus penghapusan salah satu tuntutan terhadap Gayus Tambunan yang dilakukan oleh Jaksa. Kasus proyek-proyek fisik yang seharusnya menjadi lex spesialis dijadikan lex generalis oleh aparat hukum. Tentunya dengan mendalilkan membela diri,tentu agar dianggap masih tetap berjalan di atas hukum. Namun tanpa sadar justru mereka telah sengaja menggunakan hukum untuk tujuan kejahatan (law as tool of crime).
Ketika orang hanya memandang pengadilan sebagai’mahluk yuridis’ belaka, maka demikian pula pandangan terhadap para aktor yang ‘bermain’ dilingkungan pengadilan, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Guru Besar dari Unhas Prof.Dr.Achmad Ali,S.H.,M.H., mengatakan bahwa:.. “dikalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata pengadilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru berbeda sama sekali...”.
Memang, acapkali logika yang berada dibalik menggunakan hukum itu menyesatkan. Antara perilaku menegakkan hukum dengan menggunakan hukum sulit dibedakan. Kebetulan keduanya memang saling melengkapi. Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum, dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang (abus de droit). Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum, dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan sepeerti tanpa hukum (lawless). Polisi,jaksa,hakim,advokad,birokrat,politisi, dan siapa saja yang berkecimpung dalam dunia penegakan hukum akan merasakan himpitan paradoks tersebut. Mereka senantiasa ditantang untuk menyeimbangkan dua kutub, antara penegakkan hukum dan menggunakan hukum. Nah Pertanyaannya adalah, apakah dalam ketidak seimbangan antara penggunaan hukum dengan penegakkan hukum, sang timbangan bisa seimbang ???. ***