Kamis, 04 Agustus 2011

Menegakkan dan menggunakan hukum

Menegakkan Hukum dan Menggunakan Hukum ???
Antara menegakkan hukum (enforce the law) dan menggunakan hukum (to use the law) memang merupakan dua hal yang berbeda yang seringkali lolos dari perhatian masyarakat, termasuk perhatian para akademisi. Kebanyakan orang memandang kedua hal ini sama, karena sulit membedakan bentuk keluarannya. Dalam penegakan hukum (law enforcement) terdapat kehendak agar hukum tegak, sehingga nilai-nilai yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang bersangkutan dapat diwujudkan. Sedangkan dalam menggunakan hukum, cita-cita yang terkandung dalam hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak di raih, sebab hukum tersebut digunakan untuk membenarkan tindakan-tindakan yang dilakukan (to use the law to legitimate their actions).
Dalam praktik, penggunaan hukum melibatkan keahlian profesional dalam bidang hukum. Setelah keahlian ini berkolaborasi dengan keahlian lain dan kekuasaan, maka hukum dapat dijadikan pembenar untuk tindak kekerasan,diskriminasi, dan bahkan untuk meraih keuntungan yang sebenarnya tidak sah (korupsi).
Praktik menggunakan hukum untuk mengukuhkan kepentingan, terkait dengan budaya penguasa yang memerintah. Semakin halus budaya yang dianut penguasa, tetapi semakin totaliter, hukum biasanya diagung-agungkan. Namun tidak untuk ditegakkan, melainkan hanya digunakan, sehingga berkembang berbagai bentuk diskriminasi. Bagi rezim totaliter,hukum juga dapat digunakan sebagai alas untuk melakukan berbagai tindak kekerasan, termasuk pelanggaran HAM berat. Karena menganggap pelanggaran tersebut mempunyai dasar hukum, maka perasaan bersalah para pelaku atas kejahatan yang dilakukan itu sangat minim, bahkan dalam beberapa kasus perasaan GUILTY itu nyaris tidak ada, lihat kasus-kasus yang marak terjadi dan ditayangkan di televisi seperti kasus salah tangkap dan salah tembak Polisi, kasus kesalahan atas penghukuman Prita Laura, kasus penghapusan salah satu tuntutan terhadap Gayus Tambunan yang dilakukan oleh Jaksa. Kasus proyek-proyek fisik yang seharusnya menjadi lex spesialis dijadikan lex generalis oleh aparat hukum. Tentunya dengan mendalilkan membela diri,tentu agar dianggap masih tetap berjalan di atas hukum. Namun tanpa sadar justru mereka telah sengaja menggunakan hukum untuk tujuan kejahatan (law as tool of crime).
Ketika orang hanya memandang pengadilan sebagai’mahluk yuridis’ belaka, maka demikian pula pandangan terhadap para aktor yang ‘bermain’ dilingkungan pengadilan, seperti hakim, jaksa, polisi dan pengacara. Guru Besar dari Unhas Prof.Dr.Achmad Ali,S.H.,M.H., mengatakan bahwa:.. “dikalangan praktisi hukum, terdapat kecenderungan untuk senantiasa melihat pranata pengadilan hanya sekedar sebagai pranata hukum belaka, yang penuh dengan muatan normatif, diikuti lagi dengan sejumlah asas-asas peradilan yang sifatnya sangat ideal dan normatif, yang dalam kenyataannya justru berbeda sama sekali...”.
Memang, acapkali logika yang berada dibalik menggunakan hukum itu menyesatkan. Antara perilaku menegakkan hukum dengan menggunakan hukum sulit dibedakan. Kebetulan keduanya memang saling melengkapi. Menegakkan hukum tanpa menggunakan hukum, dapat melahirkan tindakan sewenang-wenang (abus de droit). Sebaliknya, bila menggunakan hukum tanpa berniat menegakkan hukum, dapat menimbulkan ketidakadilan, bahkan dapat membawa keadaan sepeerti tanpa hukum (lawless). Polisi,jaksa,hakim,advokad,birokrat,politisi, dan siapa saja yang berkecimpung dalam dunia penegakan hukum akan merasakan himpitan paradoks tersebut. Mereka senantiasa ditantang untuk menyeimbangkan dua kutub, antara penegakkan hukum dan menggunakan hukum. Nah Pertanyaannya adalah, apakah dalam ketidak seimbangan antara penggunaan hukum dengan penegakkan hukum, sang timbangan bisa seimbang ???. *** 

Penegakan Hukum Lingkungan

Instrumen Penegakan Hukum Lingkungan


Pepatah Latin mengatakan ‘Quilibet poena corporalis, quanvis minima, majorest quilibet poena poena pecuniara’…..( Bagaimanapun ringannya suatu pidana badan, akan lebih berat dari pada pidana denda ).

Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.
Upaya penegakan hukum lingkungan yang konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Selama ini pemerintah harus memberikan Sanksi administrasi yang merupakan suatu upaya hukum yang harus dikatakan sebagai kegiatan preventif oleh karena itu sanksi administrasi perlu ditempuh dalam rangka melakukan penegakan hukum lingkungan. Disamping sanksi-sanksi lainnya yang dapat diterapkan seperti sanksi pidana.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
1. Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
2. Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Berdasarkan jenisnya ada beberapa jenis sanksi administaratif yaitu
1. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan)
Diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.
2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).
Instrument kedua yang diberlakukan setelah sanksi administrative tidak diindahakan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah pengguna instrument perdata dan pidana , kedua instrument sangsi huku ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri .
Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali penerapan instrument sanksi pidana adalah aparat penegak hokum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) yang berada tingkat pusat dalam hal ini di Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau Instansi Lingkungan Hidup Daerah dan Penyidik Kepolisian RI hal ini sebagai mana diatau dalam ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasilpenyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud padaayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan penerapan instrument perdata biasa dilakukan oleh pemerintah maupun Masyarakat dan organisasi yang konsen terhadap lingkungan hidup yang mempunyai Hak Untuk Mengajukan Gugatan yang di atu dlam ketentuan Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 1997 mekanismenya bisa dengan mengajukan gugatan perdata biasa secara perorangan amapun secara class action (perwakilan)
Sedangkan utuk gugatan legal stending yang didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai guardian/wali dari lingkungan (Stone;1972). Teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyek-obyek alam (natural objects). Dalam hal terjadi kerusakan atau pencemaran lingkungan, maka LSM dapat bertindak sebagai wali mewakili kepentingan pelestarian lingkungan tersebut.
Namun masalahnya adalah persepsi orang terhadap resiko tidak sama, tergantung pada kondisi actual masing-masing. Hal ini mengakibatkan sanksi yang diterapkan dalam peradilan tidak memiliki efek universal. Karena efek suatu sanksi merupakan masalah empiris, oleh karena manusia mempunyai persepsi yang tidak sama mengenai sanksi-sanksi tersebut. Kecuali itu, manusia juga mempunyai toleransi yang berbeda-beda terhadap penderitaan.
Akibat lemahnya kinerja institusi untuk melaksanakan penghukuman, terlihat seperti berbuat kasihan kepada para penjahat lingkungan (termasuk pembalakan liar). Akibatnya muncul sinisme yang menyatakan bahwa berbuat kasihan terhadap penjahat (termasuk lingkungan) mencelakakan rakyat (mercy to the criminal, cruelty to the people), atau memaafkan yang buruk, melukai yang baik (pardoning the bad is injuring the good). Nah kalau dibiarkan terus demikian tanpa ada solusi yang baik, maka sungguh sangat kasihan lingkungan hidup kita dan akan membenarkan perkataan seorang tokoh yang berasal dari zaman Yunani kuno, Magnus Aurelius Cossiodorus bahwa Poverty is mother of crime ( kemiskinan adalah induk kejahatan). Pertanyaannya kemudian adalah Akankah Adagium ini hingga kini masih dapat dibuktikan, terkait dengan kerusakan yang terjadi pada lingkungan hidup kita ?.…

Pendangkalan saluran irigasi galang ancam sawah...

Mahasiswa Fatek Sipil Umada lakukan penelitian irigasi Galang

Selasa, 26 Juli 2011

Jalan Moloon

Komtek

Komisi Teknis ( Komtek )


Keanggotaan DRDKT berasal dari masyarakat yang memiliki unsur kelembagaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Unsur-unsur tersebut adalah Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian dan Pengembangan, Badan Usaha, dan Lembaga Penunjang lainnya.
Anggota DRDKT periode 2011-2013 dikelompokkan sesuai kompetensi / kepakarannya menjadi 12 Komisi Teknis (Komtek), yaitu:
1. Komisi Teknis Ketahanan Pangan
2. Komisi Teknis Sumber Energi
3. Komisi Teknis Teknologi dan Manajemen Transportasi
4. Komisi Teknis Teknologi Informasi dan Komunikasi
5. Komisi Teknis Teknologi Pertahanan dan Keamanan
6. Komisi Teknis Teknologi Kesehatan dan Obat
7. Komisi Teknis Sains Dasar
8. Komisi Teknis Sosial Kemanusiaan
9.Komisi Teknis Kebudayaan dan Kesenian
10.Komisi Teknis Keuangan,perbankan dan koperasi
11.Komisi Teknis Moneter dan viskal
12.Komisi Teknis Lingkungan hidup dan pertanahan

Profil

Kegiatan DRDKT
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi No. 89/M/Kp/V/2005 tentang Dewan Riset Nasional, serta Keputusan Bupati Tolitoli Nomor 188.45/1002 Tahun 2011 tentang Pembentukan Dewan Riset Daerah Kabupaten Tolitoli, maka kegiatan Dewan Riset Daerah Kabupaten Tolitoli periode 2011-2013 difokuskan pada:
1.     Penyusunan Agenda Riset Daerah Kabupaten Tolitoli (ARDKT)
2.     Pemantauan umum perkembangan Ipteks di Kabupaten Tolitoli.
3.     Penegakan norma ilmiah riset di Kabupaten Tolitoli.
4.    Pengembangan sistem dan pengusulan penerima penghargaan riset di  Kabupaten Tolitoli.